Sungguh ironis memang jika Indonesia yang dikenal
sebagai Negara Agraria yang memiliki jumlah penduduk 247 juta jiwa. Di mana
penduduknya mayoritas hidup sebagai petani mengalami kekurangan pangan seperti
beras dan kedelai. Hal ini tentu saja menimbulkan sebuah tanda tanya besar. Kenapa
hal ini bisa sampai terjadi dan sampai kapan?
Terjadinya kekurangan pangan tentu saja membawa
dampak pada naiknya harga pangan yang pada akhirnya membuat masyarakat kecil
kembali tercekik. Pemerintah pun kembali lagi mengambil
kebijakan sesaat yang sifatnya praktis yakni dengan cara mengimpor pangan dari
luar negeri. Dengan harapan, stok dan harga pangan bisa kembali normal.
Kebijakan yang Tidak Tepat Sasaran
Masalah kurangnya stok pangan dan naiknya harga pangan di pasaran membuat
pemerintah kembali seperti kebakaran jenggot. Seakan-akan masalah ini baru saja datang untuk pertama kali. Sehingga akhirnya pemerintah mengambil kebijakan yang sifatnya
praktis dan gampangan. Bahkan kebijakan itu cenderung terlihat ecek-ecek
kenapa tidak, sebab kebijakan yang diambil sering kali tidak berlandaskan pembangunan pangan yang berkelanjutan
dan tidak tepat sasaran. Melainkan hanya kebijakan
praktis yang sifatnya untuk sesaat.
Contohnya adalah mengimpor beras dan kedelai serta
membebaskan bea masuk impor dari luar negeri. Mengimpor
dari luar bukanlah sebuah solusi ataupun jawaban yang tepat, melainkan sebuah jalan buntu yang semakin lama membuat ketahanan pangan dalam negeri semakin terpuruk.
Kebijakan
mengimpor pangan yang telah diambil
pemerintah guna untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. Sepertinya sebuah
opsi terakhir yang selalu diambil pemerintah. Seakan-akan tidak ada lagi opsi lain untuk menangani masalah
kekurangan pangan tersebut. Hal ini menunjukkan ketidak
mampuan pemerintah dalam hal mengambil kebijakan yang tepat sasaran. Sehingga masalah kekurangan pangan yang sedang
terjadi di Indonesia semakin lama semakin nyata terlihat lewat kebijakan praktis pemerintah.
Lahan Pertanian
yang Beralih Fungsi
Di sisi lain, saat ini banyak wilayah pertanian yang telah beralih fungsi. Sehingga mengakibatkan
areal pertanian dari waktu ke waktu semakin menyempit. Banyak areal yang dulunya digunakan sebagai
kawasan pertanian kini sudah beralih fungsi menjadi kawasan pemukiman. Bukan
hanya itu, lahan pertanian juga sudah banyak beralih fungsi menjadi kawasan
komersial seperti tempat bisnis real
estate yang saat ini sedang menjamur di mana-mana.
Sebagai contoh, wilayah
Tanjung Sari dan Tanjung Selamat 4 (empat) tahun yang lalu
saya lewati masih dipenuhi dengan
areal-areal pertanian seperti persawahan. Namun saat ini, areal pertanian tersebut telah beralih fungsi. Kini gedung-gedung mulai ramai berdiri kokoh
menghiasi wilayah tersebut. Tempat-tempat real
estate baru terus bermunculan menggantikan lahan-lahan pertanian.
Bukan hanya itu fenomena lain yang terjadi saat ini adalah
pengalihan fungsi lahan pertanian padi menjadi lahan kelapa sawit. Saat ini,
banyak para petani yang dulunya bertanam padi kini menjadi bertanam kelapa
sawit. Petani-petani kini berlomba-lomba menjadi petani kelapa sawit. Mengapa
tidak, saat ini banyak petani yang tergiur mendengar kabar para petani kelapa
sawit yang sukses meraup uang banyak. Bayangkan saja jika para petani berbondong-bondong mengganti
tanaman padinya dengan tanaman kelapa kelapa sawit. Bisa dipastikan kekurangan
pangan pasti akan terjadi.
Peristiwa perubahan alih fungsi lahan pertanian tampa adanya kontrol dari
pemerintah pusat ataupun daerah. Hanya akan semakin memperburuk keadaan pangan dalam
negeri. Pemerintah tentunya harus mengambil sebuah kebijakan yang dapat
mengendalikan proses pengalihan fungsi lahan tersebut.
Saat ini, masalah kekurangan pangan tidak hanya
diperburuk dari kebijakan pemerintah, tetapi juga dari ahli fungsi lahan
pertanian. Bayangkan bagaimana jadinya apabila 5 tahun
ke depan peristiwa pengalihan fungsi lahan ini terus terjadi. Dapat dipastikan produksi
pangan akan terus menurun dan mengakibatkan
krisis
pangan.
Ditambah lagi kurangnya dukungan dari sektor perbankan dalam
memberikan layanan modal bagi petani
pada masa paceklik. Perbankan sering kali mempersulit petani lewat kebijakannya. Kebijakan
perbankan tidak pernah senada dengan apa yang dinginkan rakyat. Perbankan lebih deman menyediakan modal bagi para kapitalisme,
sementara para petani, nelayan dan rakyat kecil lainnya sering kali hanya
menjadi penonton semata.
Sebagai contoh kecil yang sering saya lihat terjadi saat berada di
salah satu layanan perbankan. Saya sering kali melihat para petugas perbankan
begitu ramah dan sopan saat melayani orang-orang berdasi. Sementara masyarakat
kecil yang berpakaian biasa disambut dengan layanan wajah masam dan terkesan
diabaikan. Bahkan kedatangannya seringkali tidak
digubris, sehingga usahanya untuk meminjam modal dari bank bagaikan pungguk
merindukan bulan.
Pemerintah hendaknya jangan
memandang permasalahan-permasalahan yang terjadi saat ini sebagai permasalahan biasa. Pemerintah harus segera
mengambil langkah nyata seperti melakukan perencanaan pembangunan pertanian
yang berkesinambungan agar ketahanan pangan dapat tercapai. Bukan hanya itu,
pemerintah juga harus melakukan peningkatan kesejahteraan terhadap petani lewat
kebijakan yang pro-petani. Seperti memperbesar akses petani dalam mendapatkan
kredit ke perbankan, memberikan perlindungan pasar kepada petani, dan membangun
infrastruktur pertanian yang mendukung.
Sudah saatnya pemerintah berhenti dengan kebijakan
ecek-eceknya dan beralih pada kebijakan yang tepat sasaran dan
berkesinambungan. Jika tidak, maka dapat dipastikan
Indonesia akan menjadi negara pengimpor.
Sehingga suatu saat julukan sebagai negara agraris yang kaya raya akan alamnya hanya lah sebagai dongeng pengantar tidur.
Pernah dimuat di Harian Analisa Medan, 4 September 2012.
Komentar
Posting Komentar